Beranda | Artikel
Sirah Nabi 1 : Mempelajari Sirah Nabi ﷺ Merupakan Bagian dari Agama
Selasa, 19 September 2017

Sesungguhnya mempelajari sirah Nabi ﷺ merupakan bagian dari agama ini. Karenanya salaf terdahulu, mereka memiliki ihtimām (perhatian besar) di dalam mempelajari sirah Nabi ﷺ. Dan banyak nukilan-nukilan dari mereka yang menunjukkan betapa besar perhatian mereka terhadap sejarah Nabi ﷺ.

Seperti yang dinukilkan dari ‘Ali bin al-Husain (anak dari Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thālib) yang dikenal dengan sebutan Zaynal ‘Abidīn. Beliau pernah berkata:

 كُنَّا نُعَلَّمُ مَغَازِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَرَايَاهُ كَمَا نُعَلَّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Kami dahulu diajari tentang sejarah peperangan Nabi ﷺ baik yang Nabi ikut serta maupun tidak sebagaimana kami diajari tentang surat Al-Qurān.” (Al-Jaami’ li Akhlaaq Ar-Raawi wa Aadaab as-Saami’  2/195)

Ini menunjukkan bahwa para salaf terdahulu benar-benar menaruh perhatian terhadap sejarah Nabi ﷺ, termasuk peperangan-peperangan Nabi ﷺ, sebagaimana dahulu mereka mengajarkan tentang surat-surat dalam Al-Qurān.

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Al-Imām Az-Zuhriy rahimahullāh Ta’āla, beliau berkata :

فِي عِلْمِ الْمَغَازِي عِلْمُ الْآخِرَةِ وَالدُّنْيَا

“Dalam ilmu sejarah Nabi ﷺ ada ilmu akhirat dan ilmu dunia.” (Al-Jaami’ li Akhlaaq Ar-Raawi wa Aadaab as-Saami’  2/195)

Demikian juga perkataan Ibnul Jauzi rahimahullāh yang menunjukkan perhatian kepada Sirah Nabi ﷺ, beliau berkata:

رَأَيْتُ الاِشْتِغَالَ بِالْفِقْهِ وَسَمَاعِ الْحَدِيْثِ لاَ يَكَادُ يَكْفِي فِي صَلاَحِ الْقَلْبِ، إِلاَّ أَنْ يُمْزَجَ بِالرَّقَائِقِ وَالنَّظْرِ فِي سِيَرِ السَّلَفِ الصَّالِحِيْنَ.

“Aku memandang bahwa hanya sibuk mempelajari fiqh dan hanya sibuk mempelajari hadits-hadits Nabi ﷺ (yaitu yang berkaitan dengan fiqh) tidak cukup untuk memperbaiki hati kecuali apabila digabungkan dengan mempelajari raqāiq (yang dapat melembutkan hati) dan juga mempelajari sejarah para salafush shālih.” (Shaidul Khathir hal. 228)

Beliau juga berkata :

وَأَصْلُ الأُصُوْلِ الْعِلْمُ، وَأَنْفَعُ الْعُلُوْمِ النَّظَرُ فِي سِيَرِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ: {أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ}

“Pokok dari perkara-perkara yang pokok adalah ilmu, dan ilmu yang paling bermanfaat adalah memperhatikan sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah maka ikutilah petunjuk mereka” (QS Al-An’aam : 90)” (Shaidul Khathir hal. 80)

 

Perhatikan perkataan yang indah dari Ibnul Jauziy rahimahullāh Ta’āla ini. Beliau mengatakan bahwasanya meskipun kita butuh mempelajari ilmu fiqh dan hadits-hadits Nabi ﷺ untuk mempelajari bagian dari agama ini, tetapi hal ini tidak cukup untuk membersihkan dan meluruskan hati. Seseorang butuh untuk mempelajari ar-raqāiq, mengkhususkan waktu untuk mempelajari zuhud dan perkara yang berkaitan dengan akhiratnya. Sehingga dia semakin yakin bahwa dunia ini akan sirna. Dirinya akan disidang oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dia akan dihadapkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan maut pun akan menjemputnya.

Oleh karena itu, hendaknya seseorang mempelajari sirah (perjalanan hidup) orang-orang terdahulu. Sebab ketika ia mempelajari sirah perjalanan orang-orang terdahulu termasuk bagaimana ibadah mereka, maka hal ini akan meluruskan hatinya, apalagi jika yang dipelajari adalah sirah Nabi ﷺ.

Selain itu, pada kenyataannya seseorang tidak akan bisa menguasai ilmu fikih dengan baik dan sempurna jika ia kurang menguasai sirah Nabi, karena banyaknya hukum-hukum yang berkaitan dengan sirah dan peperangan-peperangan Nabi. Dengan mengetahui alur sejarah perjalanan Nabi, hal tersebut akan lebih memudahkan untuk memahami fikih Nabi dan juga tentang asbabun nuzul ayat dan asbabun wurud hadits yang lebih membantu memahami fikih ayat dan hadits tersebut.

Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata :

تَتَعَلَّقُ بِمَغَازِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْكَامٌ كَثِيرَةٌ فَيَجِبُ كَتْبُهَا وَالْحِفْظُ لَهَا

“Banyak hukum yang berkaitan dengan peperangan-peperangan Nabi ﷺ, wajib untuk mencatat peperangan-peperangan tersebut dan menjaganya” (Al-Jaami’ li Akhlaaq Ar-Raawi wa Aadaab as-Saami’  2/195)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā, bahwa beliau memiliki waktu khusus untuk mengajarkan sirah, padahal beliau adalah shāhabat yang merupakan ahli tafsir (mufassir) dan orang yang ‘alim di kalangan shāhabat. Akan tetapi, beliau mengkhususkan waktu untuk mengajarkan sirah Nabi ﷺ, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Ubaidillāh bin ‘Utbah ketika menyifati majelis Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā, beliau mengatakan:

وَلَقَدْ كُنَّا نَحْضُرُ عِنْدَهُ فَيُحَدِّثُنَا الْعَشِيَّةَ كُلَّهَا فِي الْمَغَازِي

“Kami menghadiri majelis Ibnu ‘Abbas pada suatu sore dan seluruh waktu beliau habiskan untuk mengajarkan tentang sirah Nabi ﷺ (tentang peperangan Nabi ﷺ).” (Maghazi Rasulillah ﷺ li Urwah bin Az-Zubair hal. 23)

Dengan kata lain, Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā membuat pengajian khusus tentang sirah Nabi ﷺ.

Karena itulah, mempelajari sirah Nabi ﷺ adalah perkara yang penting dan termasuk bagian dari agama.

Apabila kita perhatikan, sirah Nabi ﷺ adalah sirah yang istimewa. Kita sedang mempelajari seorang tokoh yang tidak sama dengan tokoh yang lain. Terdapat sebuah buku yang berjudul “100 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” [The 100, A Ranking to The Most Influential People in History karya Michael H. Hart, ed]. Dalam buku ini disebutkan. Ada 100 tokoh yang dianggap paling berpengaruh di dunia, termasuk yang disebutkan adalah Hitler [Urutan No ke-39]. Penulis buku tersebut, menjadikan Nabi ﷺ sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh. Selain beliau ada Budha [Sidharta Gautama, urutan ke-4], Kong Hu Cu [Urutan ke-5] dan yang lainnya.

Meskipun Michael H. Hart menjadikan Nabi ﷺ sebagai tokoh nomor 1 paling berpengaruh di dunia, akan tetapi membandingkan sejarah Nabi dengan sejarah orang-orang ini adalah tidak pantas. Mengapa demikian? Karena Nabi ﷺ adalah manusia yang berbeda dengan manusia lainnya. Beliau adalah manusia yang sangat mulia, manusia yang paling dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Beliau telah mencapai suatu kedudukan yang tidak pernah dicapai oleh makhluk selain beliau. Diantaranya ketika bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla (saat isrā mi’rāj), lalu naik (mi’raj) ke tempat yang sangat tinggi (sidratul muntaha) untuk bertemu dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla (dan beliau nyaris bertemu langsung dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla).

Sampai-sampai sahabat Abu Ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu bertanya kepada beliau:

هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ عَزَّ وَجَلَّ؟

“Apakah engkau melihat Rabb-mu azza wa jalla?”

Nabi ﷺ berkata:

نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ

“Ada cahaya, bagaimana saya bisa melihat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.” (HR Muslim no 178)

Artinya beliau berada di tempat yang sangat dekat dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, yang mana tidak pernah ada yang sampai ke tempat tersebut. Bahkan menurut para ulama, Jibrīl sekalipun belum pernah sampai ke tempat tersebut, melainkan hanya Nabi ﷺ saja.

Selain itu, Nabi ﷺ adalah sosok manusia yang pernah melihat langsung surga dan neraka. Dalam sejumlah hadits, Rasūlullāh ﷺ diperlihatkan surga dan neraka oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Nabi pernah melihat surga bukan dengan pandangan hati akan tetapi dengan melihatnya secara langsung, dan Allāh sendirilah yang memperlihatkannya. Tentu saja seseorang yang pernah melihat surga dan neraka secara langsung akan tertanam pada dirinya keimanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sejarah Nabi bukanlah layaknya sejarah tokoh biasa. Namun beliau hanya pantas disandingkan dengan para Nabi yang lain. Tidak layak dibandingkan dengan Hitler, Buddha, Kong Hu Cu atau tokoh-tokoh lainnya.

Selain itu, tokoh-tokoh tersebut meskipun memiliki pengaruh dan sejarah, akan tetapi sejarah mereka hanyalah dinilai hebat dalam sebagian sisi kehidupan saja, dan itupun tidak sempurna. Berbeda dengan sejarah Nabi ﷺ yang menurut para ulama, sejarah beliaulah satu-satunya yang sempurna dari seluruh sisi dan aspek kehidupan.

Demikian juga, sejarah Nabi ﷺ adalah sejarah paling lengkap yang pernah ada dibandingkan tokoh-tokoh tersebut. Sejarah Nabi ﷺ dihimpun mulai dari masa kecil, kemudian masa muda beliau sebelum diangkat menjadi Nabi, hingga diutus menjadi Nabi, bahkan hingga beliau ﷺ meninggal dunia. Sungguh, betapa langka sejarah yang ditulis secara lengkap seperti ini dengan bukti dan kesaksian otentik yang dapat dibuktikan secara sanad.

Sejarah hidup beliau sarat dengan pelajaran dari segala sisi. Mulai dari semenjak beliau masih anak-anak, sebelum diangkat menjadi Nabi, lalu dari sisi figur sebagai seorang kepala keluarga, seorang ayah, seorang teman, seorang pemimpin (kepala negara), dan lain-lain yang kesemuanya mengandung pelajaran yang bisa dipetik. Bahkan di saat beliau berperang dan bermuamalah baik dengan sesama muslim, non muslim, ataupun terhadap musuh dalam perang, semuanya lengkap terdokumentasi dalam sejarah Nabi ﷺ. Hal Ini tidak akan bisa didapatkan dalam sejarah tokoh-tokoh lain. Bahkan sekalipun tentang para Nabi (selain beliau), tidak akan dijumpai secara lengkap sejarah mereka.

Misalnya, tentang Nabi ‘Isa ‘alayhis salām, apabila kita ingin mencari informasi bagaimana sosok beliau sebagai seorang ayah, maka tidak akan kita dapati keterangan yang valid dalam sejarah beliau. Bahkan di dalam kitab yang dianggap suci oleh orang nasrani sekalipun, yaitu Kitab Injil, tidak akan kita dapati bagaimana sosok Nabi ‘Isa sebagai seorang ayah. Demikian pula jika kita ingin mencontoh Nabi ‘Isa sebagai seorang suami, tidak akan kita dapati informasinya di dalam buku-buku yang dianggap suci oleh mereka.

Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sejarah Nabi ﷺ adalah sejarah yang sangat spesial dan istimewa, berbeda dengan sejarah tokoh-tokoh lain, karena sejarah beliau begitu lengkap dan terperinci dari segala lini kehidupan. Dan di setiap lini kehidupan Nabi ﷺ tersebut membuahkan keteladanan yang sangat luar biasa, baik beliau sebagai seorang ayah, suami, teman, kepala negara, da’i, ataupun mufti (pemberi fatwa), semuanya ada dan dicontohkan oleh Rasūlullāh ﷺ dalam sejarah beliau.

Pantas kiranya Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berada di atas perangai yang mulia.” (QS Al-Qalam 4)

Perhatikanlah bahwa yang memuji Nabi ﷺ bukanlah manusia, namun yang memuji beliau ﷺ langsung adalah Rabbul ‘ālamīn, Pencipta alam semesta ini. Dan pujian Allah tersebut diabadikan dalam Al-Qurān yang dihafalkan oleh jutaan kaum Muslimin.

Dalam ayat di atas, terdapat banyak penekanan yang Allāh berikan dengan menggunakan huruf taukîd (huruf yang didatangkan untuk penekanan makna) yang menunjukkan sungguh-sungguh, yaitu :

wa innaka: sesungguhnya engkau

la’alā: sungguh-sungguh / benar-benar berada di atas perangai yang mulia

Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang kehidupannya dijadikan sumpah oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla kecuali Nabi ﷺ. Sebagaimana sumpah Allah dalam surat Al-Hijr, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ

Demi Umurmu (wahai Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (QS. Al-Hijr : 72)

Dalam ayat di atas, Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebenarnya sedang menceritakan tentang kisah kaum Nabi Luth ‘alayhissalām yang terjerumus dalam praktek homoseksual, kemudian Nabi Luth menasehati mereka agar mereka meninggalkannya, namun mereka menolak nasehat tersebut. Nabi Luth mengatakan: Kalau kalian ingin menikah, maka

هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ

Inilah putri-putriku jika kalian hendak berbuat (secara halal).” (QS al-Hijr : 71)

Luth mengatakan : “Janganlah kalian mendatangi para lelaki, maka nikahilah putri-putriku.” Tetapi mereka menolaknya. Kemudian di ayat setelahnya, Allah berfirman :

لَعَمْرُكَ …

“Demi umurmu (atau demi kehidupanmu) (wahai Muhammad)… “

Para ulama menerangkan boleh dibaca “la’umruka” atau “la’amruka“, keduanya sama maknanya. Akan tetapi, dalam sumpah biasanya diucapkan dengan memfathahkan ‘ain (la’amruka) yang artinya “demi kehidupanmu”. Namun bisa pula diucapkan dengan mendhammahkan ‘ain (la’umruka) yang berarti “demi umurmu”.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan : “Demi kehidupanmu wahai Muhammad, sesungguhnya mereka (kaum Nabi Lūth) benar-benar buta dalam kemaksiatan mereka”. Setelah dinasihati oleh Nabi Lūth sampai-sampai beliau menawarkan anak-anak wanitanya, namun mereka menolaknya dan tidak berminat.

Menurut para ulama, dalam ayat di atas Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak bersumpah dengan kehidupan atau umur Nabi Lūth, padahal ayat ini mengisahkan tentang Nabi Lūth ‘alaihis salam dan kaumnya. Namun Allāh bersumpah dengan kehidupan atau umur Nabi Muhammad ﷺ. Mengapa demikian? Hal ini karena Allāh tidak pernah bersumpah dengan umur seseorang kecuali dengan umur Nabi Muhammad ﷺ.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa berkata :

مَا خَلَقَ اللَّهُ وَمَا ذَرَأَ وَمَا بَرَأَ نَفْسًا أَكْرَمَ عَلَيْهِ مِنْ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا سَمِعْتُ اللَّهَ أَقْسَمَ بِحَيَاةِ أَحَدٍ غَيْرِهِ

“Allah tidak pernah menciptakan dan tidak pernah menghidupkan satu jiwapun yang lebih mulia dari Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan aku tidak pernah mendengar Allah bersumpah dengan kehidupan seorangpun selain kehidupan beliau ﷺ ” (Tafsir Ibnu Katsir 4/542)

Mengapa Allāh Subhānahu wa Ta’āla bersumpah dengan umur Nabi Muhammad ﷺ? Karena seluruh bagian dari umur Nabi ﷺ adalah kehidupan yang penuh berkah. Hal ini menekankan kepada kita bahwa sejarah Nabi ﷺ itu sangat spesial, tidak sama dengan sejarah-sejarah yang lainnya.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

أَقْسَمَ تَعَالَى بِحَيَاةِ نَبِيِّهِ، صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ، وَفِي هَذَا تَشْرِيفٌ عَظِيمٌ، وَمَقَامٌ رَفِيعٌ وَجَاهٌ عَرِيضٌ

“Allah Ta’āla bersumpah dengan kehidupan Nabi-Nya ﷺ, dan ini menunjukkan akan pemuliaan yang agung, kedudukan beliau yang tinggi, dan martabat beliau yang besar kemuliaannya” (Tafsir Ibnu Katsir 4/542)

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 28-12-1438 H / 19-09-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1801-sirah-nabi-1-mempelajari-sirah-nabi-merupakan-bagian-dari-agama.html